oleh: Prof. Afif Muhammad
Tengah malam aku terbangun dari mimpi dengan tubuh gemetar. Nafasku tersengal-sengal ketika aku duduk di tempat tidur, dan tubuhku masih bergetar. Dalam mimpiku tadi aku serasa berdiri di depan suatu taman yang indah tak terperi. Di depan taman itu berjajar penjaga-penjaga berpakaian sutera putih yang indah sekali. Tubuh mereka tegap serasi, dan wajah mereka tampan berseri. Kepada salah seorang penjaga yang ada di situ aku bertanya, “Taman apa ini?"
“Ini surga”, jawab penjaga itu sambil memandangiku.
“Boleh aku masuk?” tanyaku.
Penjaga itu memandangiku lekat-lekat, seakan matanya menyelami bagian dalam tubuhku.
“Tidak, engkau tidak diperbolehkan masuk ke sini”, katanya sambil mendekatiku seakan hendak menghalangi jalanku, “Tempatmu di sana”, katanya sambil menunjuk ke tempat yang jauh di sebelah kiri.
Aku mengarahkan pandanganku ke arah yang dia tunjukkan. Sekali pun tempat itu jauh sekali, tetapi aku dapat melihatnya dengan sangat jelas, seakan-akan tempat itu sama dekatnya dengan taman yang ada di depanku. Di situ kulihat jurang dengan lidah-lidah api raksasa yang berkobar dahsyat. Suaranya gemuruh bagai dengus gergasi yang sedang murka. Ribuan orang dijatuhkan susul-menyusul dengan jeritan, teriakan, dan lolongan yang sangat memilukan.
Tengah aku memandangi tempat itu dengan ketakutan luar biasa, tiba-tiba, entah dari mana datangnya, dua orang berpakaian hitam kasar sudah berada di samping kiri dan kananku. Tubuh mereka kekar berotot, dan wajah mereka beringas penuh marah. Tanpa bertanya barang satu kata pun, kedua orang itu memegang kedua tanganku, dan bersiap menyeretku.
“Ayo!”, teriak mereka, “Tempatmu di sana!”
“Jangan…, jangan bawa aku ke sana”, teriakku meratap-ratap.
Tetapi kedua penjaga itu sama sekali tidak perduli. Mereka mulai menyeretku dengan sangat kasar, sepertinya aku hanya sekarung sampah busuk yang harus segera dimusnahkan. Dengan sisa-sisa tenagaku aku meronta-ronta dan menendang-nendang dengan kedua kakiku, seraya meregangkan tubuh habis-habisan guna manahan seretan mereka. Tetapi mereka benar-benar sudah tak perduli. Mereka menyeret tubuhku dengan sangat kejam, sehingga tubuhku menghantam batu-batu tajam yang ada di bawah kepala, dada, paha, dan kakiku. Sakitnya tak terperi, tubuhku serasa dikoyak-koyak puluhan tombak dan parang. Aku menjerit-jerit sekuat-kuatnya.
Kedua penjaga itu menyeretku semakin dekat ke jurang raksasa berapi dahsyat itu. Aku merasakan diriku sudah hancur-luluh ketika dengan sangat ringan mereka menarik kedua tanganku ke atas, sehingga tubuhku tergantung bagai seekor ayam yang siap disembelih. Putusasa melanda diriku. Aku menatap jurang berkobar api itu dengan perasaan sia-sia.
“Ya Rabbiy….” tangisku, sambil mengangkat kepala, putusasa.
Tiba-tiba, tepat ketika itu, aku melihat dua bayangan putih melayang, dan turun persis di depan kedua penjaga itu. Mereka menghadang jalan kami..
“Apa lagi ini,” ratapku dalam hati.
Dengan mataku yang kabur karena lumuran darah, aku memandang ke arah dua sosok yang baru datang itu. “Dua bidadari?” tanyaku dalam hati. Aku tak percaya.
“Berhenti dulu, kawan…” kata salah seorang bidadari itu dengan lembut. Suaranya merdu sekali. “Kalian tidak boleh membawa orang ini ke sana”, tambahnya.
Kedua penjaga yang menyeretku menghentikan langkah, dan dengan marah mereka berusaha mendorong minggir kedua bidadari yang ada di depan mereka. Aneh, kedua penjaga bertubuh kekar itu tak sanggup menerobos hadangan mereka. Kedua penjaga itu berusaha melewati kedua bidadari itu. Tetapi ke mana pun mereka bergerak, ke situ pula kedua bidadari itu menghadang. Akhirnya, sesudah merasa usaha mereka sia-sia, kedua penyeretku itu menghentikan langkah.
“Siapa kalian?” tanya salah seorang penyeretku.
Kedua bidadari itu tidak menjawab, tetapi dengan lembut mereka menyibakkan sedikit belahan jubah luarnya di arah dada kiri mereka. Kedua penjaga itu terkejut luar biasa. Begitu terkejutnya, sampai-sampai pegangan mereka pada tanganku terlepas, Aku terjerembab ke tanah. Wajahku membentur batu tajam. Robek, sakit sekali.
“Sekarang, pergilah”, kata salah seorang bidadari itu kepada kedua penjaga itu, “Biar kami yang mengurus orang ini” tambahnya.
Kedua penyeretku itu melesat pergi, entah ke mana. Begitu mereka hilang dari pandangan, kedua bidadari itu segera memegang kedua tanganku, dan mendudukkan aku di tanah. Salah seorang di antaranya mengusap wajahku dengan tangannya. Tangan itu terasa halus bak sutera. Hawa sejuk menyapu wajahku, dan kesegaran menyelusup ke dalam dadaku. Tiba-tiba pandanganku menjadi lebih terang, dan tubuhku agak segar. Kemudian perlahan-lahan mereka menegakkan tubuhku yang masih terasa remuk-redam. Aku terhuyung-huyung, tetapi dengan lembut kedua bidadari itu menahan tubuhku.
“Mari kita ke sana,” ajak salah seorang di antaranya. Aku tidak tahu siapa di antara keduanya yang berkata begitu.
“Ke mana?” tanyaku dengan gemetar, karena takut mereka akan membawaku ke jurang api itu.
“Ke taman itu,” jawab suara itu lagi.
Aku ternganga, tidak percaya.
“Ayolah,” kata keduanya sambil mengapitku agar tidak tersungkur lagi. Tangan mereka yang lembut memegang tanganku yang kotor oleh lumuran darah bercampur debu.
“Siapa tuan-tuan puteri ini?” tanyaku sambil tetap menunduk, tak berani menatap mereka.
“Nak…, aku ibumu…”, jawab bidadari yang ada di sebelah kananku.
“Mas.., aku isterimu…”, kata yang di sebelah kiri.
Mendengar kedua suara yang sangat aku kenali itu, kerongkonganku tercekat.
Aku tersungkur dengan dahi menyentuh tanah.
“Ya Rabbiy…..”
1 komentar:
menarik untuk di simak info nya gan
terimakasih
Posting Komentar